Gallery image

Waktu Yang Hilang

Kemarin, berita mengejutkan itu datang. Kepergiannya begitu tiba-tiba, bahkan nyaris tanpa tanda-tanda. KH Ali Mustofa Ya’kup, ulama’ yang dikenal berani dan tegas itu telah meninggalkan kita. Saya pernah menginap di hotel dan kamar yang sama saat mengisi acara di Yogja. Begitu juga saat Konggres Umat Islam 2005 di Jakarta. Hidup dan mati memang peristiwa biasa, tetapi kepergian orang yang kita kenal dan pernah dekat dengan kita pasti berbeda.

Seperti kata Nabi, “Kafa bi al-mauti wa’idha” [cukuplah kematian itu menjadi pengingat] [Hr. al-Baihaqi], tentu bukan kematian kita, tetapi kematian orang lain. Iya, kematian orang lain menjadi pengingat bagi kita, agar kita siap; kapan saja dan di mana saja, kematian bisa menjemput kita. “Li kullli ajalin kitab.” [Tiap ajal/tenggat waktu itu ada catatan/ketetapannya] [Q.s. ar-Ra’d: 38], sayangnya kita tidak diberitahu ketetapannya; kapan, di mana dan bagaimana?

Penyesalan selalu di belakang, setelah semuanya tiada. Ketika masih ada, ia disia-siakan. Sehat dan kesempatan, kata Nabi, adalah keadaan yang memungkinkan kita melakukan apa saja dengannya. Tetapi, keduanya justru banyak disia-siakan, selagi ada. Baru disesali, setelah keduanya tiada. Kematian telah menghentikan kita dari semua kesempatan yang ada, sehingga kita tak lagi bisa melakukan apa-apa. Bahkan, waktu yang kita lalui sesungguhnya juga menghentikan kita, karena apa yang telah kita lewatkan, tak bisa lagi kita kembalikan.

Begitulah hidup. Maka, tepat sekali, ungkapan yang mengatakan, “Man jadda wajada.” [Siapa yang sungguh-sungguh dalam berusaha, dia pasti akan mendapatkan hasilnya]. Karena itu, di akhirat, Allah pun menitahkan kita, “Iqra’ kitabaka, kafa binafsika al-yauma ‘alaika hasiba.” [Bacalah catatanmu. Cukup bagimu, hari ini, menjadi penghitung bagi dirimu] [Q.s. al-Isra’: 14]. Catatan amal perbuatan selama di dunia yang kita tulis sendiri. Baik, buruk, lebih, kurang dan sempurna, semuanya kita sendiri yang menulisnya.

Karena itu, kisah sukses di dunia, maupun di akhirat bukan hasil instan, tetapi hasil perjuangan. Ibn ‘Abbas, sukses menjadi seorang ulama’ hebat, bukan semata karena kecerdasan yang dianugerahkan kepadanya. Didoakan Nabi, saat lahir agar menjadi orang yang alim dan faqih, beliau pun mempunyai daya tangkap yang luar biasa. Sekali mendengar, 80 bait syair bisa dihapalnya. Pun begitu, beliau tetap berguru kepada banyak sahabat. Bahkan, dalam satu perkara, beliau biasa mendatangi lebih dari 30 sahabat. Tak hanya itu, beliau pun sanggup tidur di depan pintu rumah gurunya, seperti yang dilakukan kepada Zaid bin Tsabit. Beliau pun tak hanya bersungguh-sungguh dalam berusaha, tetapi juga menjaga kebersihan dirinya. Shalat tahajud dilakukannya tanpa absen, meski sedang bepergian.

Saat teman kecilnya mengatakan kepada Ibn ‘Abbas, “Mengapa kamu harus begitu rupa, sementara di sana ada Abu Bakar, ‘Umar dan sahabat yang lainnya?” Ibn ‘Abbas pun acuhkan ucapan temannya, dan tetap saja dengan usahanya. Saat keduanya dewasa, Ibn ‘Abbas telah menjelma menjadi ulama’ hebat di zamannya, sementara teman kecilnya yang sudah sama-sama dewasa itu tetap tidak menjadi apa-apa. Di saat itu, temannya berkata, “Laqad shadaqa Ibn ‘Abbas.” [Sungguh benar sekali Ibn ‘Abbas]. Teman kecilnya itu tak bisa lagi mengejarnya, karena waktu dan kesempatan yang ada telah hilang sia-sia.

Begitulah hidup. Kisah Muhammad al-Fatih yang sukses meraih bisyarah Nabi, sebagai penakluk Konstantinople, dan menyandang gelar dari Nabi sebagai ni’ma al-amir juga hasil perjuangan dan kerja keras. Sejak kecil, dia telah dididik dan dipersiapkan sebagai peraih bisyarah. Dia ditempa akidah, pemikiran dan pribadinya. Dia sanggup menghapal al-Qur’an sejak usia belia. Dia sanggup menguasai 8 bahasa. Dia sanggup menjaga qiyam lail-nya sejak baligh hingga wafatnya. Dia sanggup memikul beban berat dan tekanan yang luar biasa untuk mewujudkan misinya. Bahkan, sanggup melakukan hal yang tak lazim dilakukan manusia biasa. Dia mampu memindahkan 70 kapal hanya dalam waktu semalam, melintasi darat dan bebukitan. Membangun benteng dan meriam raksasa tak lebih dalam waktu 3 bulan.

Nabi dan para sahabat telah memberikan pelajaran kepada kita. Jaminan surga yang diberikan kepada mereka tak membuat mereka berhenti berusaha dan mengisi lembaran hidup mereka dengan perjuangan. Justru sebaliknya, ketika jaminan itu dinyatakan kepada mereka, mereka justru bekerja keras dan bersungguh-sungguh agar jaminan itu menjadi nyata. Maka, tak ada lagi waktu, kesempatan dan apapun yang mereka punya, kecuali dicurahkan untuk mewujudkan janji-Nya. Lihatlah shalat malam Nabi saw. hingga kakinya bengkak. Lihatlah Nabi, saat datang ke Taif, harus menghadapi lemparan batu dengan tubuhnya hingga berdarah-darah. Rumah baginda pun dikepung oleh kaum Kafir Quraisy yang berusaha menghabisinya. Saat di Madinah, tak kurang 27 kali perang dipimpinnya, sementara 79 perang besar dan kecil terjadi dalam 10 tahun di zamannya.

Bahkan, Abu Ayyub al-Anshari yang meraih kemuliaan, saat menjadi saksi Bai’at Aqabah di Mina, setelah itu rumahnya ditumpangi Nabi saat hijrah di Madinah, dan tak pernah absen sekalipun dari peperangan, tetap saja tak surut kesungguhannya. Saat itu, usianya sudah lebih dari 80 tahun, dan sudah udzur, tetapi tetap saja minta disertakan dalam ekspedisi ke Konstantinopel, tuk mewujudkan bisyarah kekasihnya. Semuanya itu demi melayakkan diri, dan mendapatkan satu tiket ke surga. Allahu akbar..

Jika mereka begitu rupa, hingga tak sanggup mencari alasan di hadapan Allah, sementara kita sebaliknya. Seringkali mencari alasan, padahal Allah tidak buta. Allah selalu melihat kita. “Inna Rabbaka la bi al-mirshad.” [Sesungguhnya Tuhanmu pasti selalu mengintaimu] [Q.s. al-Fajr: 14]. Lalu, apa yang menjadi alasan kemalasan kita? Apa yang menjadi alasan kita menyia-nyiakan kesehatan, waktu dan kesempatan kita?

Semoga Allah senantiasa menjaga diri kita. Membimbing dan memberikan taufik-Nya kepada kita, hingga kita bisa mengisi setiap lembaran hidup kita dengan amal shalih, meraih sukses di dunia dan akhirat. Amin..

Jum’at penuh berkah
29 April 2016/21 Rajab 1437 H

Saudaramu,
Khadim Ma’had – Majelis Syaraful Haramain

Leave a Comment