Tak terasa, pertemuan Ahad malam itu mengalir saja. Beliau menyampaikan, “Aku cinta kalian karena Allah” dalam bahasa indonesia. Pesan cinta beliau kepada Ma’had Wakaf Syaraful Haramain terasa nyata, tak hanya untuk santri, para asatidz, ustadzat, wali santri juga wakifin, dan muhsinin yang malam itu mengikuti via Zoom dari tempat masing-masing. Beliau juga menyatakan, “Insya Allah, nanti kalau ke sini lagi, tidak perlu ada penerjemah.” Motivasi, sekaligus untuk mengukur target capaian penguasaan bahasa Arab.

Iya, santri memang telah menyelesai 9 jilid kitab bahasa Arab, al-‘Arabiyyah Baina Abna’ika, pada tahun pertama. Mereka juga sudah hapal Tuhfatu al-Athfal, dan sudah ditasmi’ di hadapan Syaikh al-Azhar, Fadhilatu Syaikh Dr. Nashruddin at-Tamadi, tiap Kamis sore. Selain itu, mereka juga sudah tasmi’ 2 juz al-Qur’an. Pendek kata, al-Qur’an di tangan kanan, dan bahasa Arab di tangan kiri. Al-Qur’an dan bahasa Arab tidak boleh dipisahkan. Begitulah, pesan yang beliau sampaikan malam itu.

Beliau sampaikan, teruslah menghafal al-Qur’an minimal satu juz dalam satu tahun dan ini yang paling dhoif. Alhamdulillah, di Ma’had, target menghapal, minimal 2 juz per tahun. Dalam waktu 6 tahun, minimal hapal 12 juz. Ma’had juga menargetkan, santri yang lulus Program KAH, sudah hapal 30 juz. Bagaimana caranya? Alhamdulillah, Ma’had Wakaf Syaraful Haramain mempunyai Metode al-Haramain, yang sudah diujicoba dalam Daurah Tahfidz al-Qur’an, dan Kegiatan Liburan Ramadahan 1442 H, kemarin.

Beliau mengingatkan, agar para santri terus meningkatkan hafalan dan murajaah. Di al-Azhar sendiri, setiap tahun selalu ada ujian al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah asas untuk membangun syakhsiyyah (kepribadian) thalib al-Ilmi. Dengan hafal al-Qur’an dan terus diujikan. Bagaimana caranya, agar hapalan kita kuat? Beliau menceritakan rahasia di balik Kuttab.

Kalau kita di Mesir, jalan-jalan di belakang al-Azhar, kita akan menemukan komplek bangunan lama, peninggalan Khilafah ‘Abbasiyah. Di sana ada makam Najmudin Ayyub, ayah Shalahuddin al-Ayyubi. Persis di sebelahnya, ada Kuttab. Kuttab itu adalah tempat untuk mendidik anak-anak pra sekolah, selevel TK. Di Kuttab, mereka tidak hanya menghapal al-Qur’an, tetapi juga diajari menulis. Kuttab itu adalah bentuk Mubalaghah dari kata Katib [penulis]. Mengapa disebut demikian, karena mereka belajar menghafal dengan menuliskan apa yang mereka hapalkan.

Lanjut beliau, “Itulah cara yang dilakukan di Afrika, seperti Maroko dan Mauritania, mengapa ulama’ di sana hapalannya kuat? Karena mereka menghapal dengan menulis.” Persis sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Adab ad-Dunya wa ad-Din, mengutip hadits Nabi, “Ikatlah ilmu kamu dengan tulisan.” Itulah rahasia Kuttab, sehingga outputnya mempunyai hapalan yang kuat. Maka sebelum menghafal seharusnya menuliskan terlebih dahulu apa yang dihapal. Kitabah juga menjadi metode menghafal yang luar biasa. Dalam al-Qur’an surat al-Alaq, Allah juga mengajarkan manusia dengan pena, maka gunakanlah pena itu sebagai alat untuk mengikat hafalan. Begitu nasihat beliau.

Karena itu, satu hal yang wajar, jika orang yang banyak ilmunya karena menulis. Pesan beliau, “Maka tulislah apa yang kalian hafal. Jika meninggalkan uslub kitabah ini, maka akan menjadikan lemahnya hafalan dan tidak mampu menuliskan al-Qur’an meskipun sudah hafal al-Qur’an.” Beliau menyampaikan, uslub yang kedua, yaitu uslub at-darb [cara memukul] sebagai bentuk al-tsawab wa al-iqob [hadiah dan hukuman]. Beliau menjelaskan, “Jangan khawatir dengan metode memukul. Karena, bekas pukulan itu akan hilang, tetapi ilmu dan adabnya akan melekat.” Pukulan seorang guru kepada muridnya adalah pukulan dalam rangka mendidik, bukan yang lain, agar santri disiplin. Karen aitu, penyebab lemahnya hafalan santri di Indonesia, karena meninggalkan cara ini, disamping cara yang pertama.

Beliau bercerita, ketika duduk belajar, mulai dari posisi duduk hingga tangannya saja diperhatikan oleh syaikhnya, sehingga begitu bergeser, syaikh beliau langsung mengingatkan. Bahkan juga bercerita, bagaimana syaikh beliau memiliki cambuk yang panjangnya dari depan hingga bisa menjangkau murid beliau yang ada di belakang. Syaikh beliau usianya di atas 70 tahun, tetapi mampu mendisiplinkan muridnya lebih dari 100 dengan uslub seperti tadi, dibantu seorang ‘Arif.

Kisah seorang ‘Arif juga diceritakan oleh Ibn Jamaah dalam kitabnya, Tadzkiratu as-Sami’ wa al-Mutakallim. Dahulu, ketika Abu Darda, sahabat Nabi, radhiya-Llahu ‘anhu, menjadi Syaikh Muqri’ di wilayah Syam, beliau mempunyai 1000 murid. Beliau membawa tongkat, sambil duduk mengawasi mereka. Untuk menangani mereka, Abu Darda radhiya-Llahu ‘anhu dibantu 10 ‘Arif, dimana masing-masing mengawasi 100 orang. Tugas seorang ‘Arif ini membantu syaikh menerima setoran. Jika ada perselisihan di antara mereka, maka seorang ‘Arif tersebut akan datang kepada syaikh, yaitu Abu Darda.

Insya Allah, angkatan pertama santri Ma’had ini akan menjadi ‘Arif dan ‘Arifah, yang memiliki ilmu yang harus disebarkan dan diamalkan dengan salah satu caranya menjadi Musyrif [Mudabbir] bagi adik-adik kelas yang akan bergabung di Ma’had ini. Sebenarnya, Kuttab ini sudah dimulai sejak zaman Nabi, ketika tawanan Perang Badar, yang bisa ditebus dengan harta, tetapi tidak dilakukan oleh Nabi, melainkan ditebus dengan jasa. Jasa 1 orang mengajari 5 kaum Anshar untuk baca tulis, sehingga ketika mereka sudah bisa membaca dan menulis, tawanan itu akan dibebaskan. Karena itu, para penulis wahyu dari kalangan sahabat pun semakin banyak. Selain itu juga menulis hadits dan lain-lain. Ide Kutab ini terus berkembang hingga masa ‘Umar bin al-Khatthab radhiya-Llahu ‘anhu. ‘Umar bin al-Khattab radhiya-Llahu ‘anhu mengutamakan Ahli al-Qur’an, bahkan dalam tugas pemerintahan, seperti Ibn ‘Abbas radhiya-Llahu ‘anhu.

Kalau di Kuttab, para santri pulang, tidak menginap, sehingga hanya ada sesi pagi hingga petang, maka di ma’had, santri menginap, sehingga mempunyai waktu malam hingga pagi lagi. Artinya, waktu santri di Ma’had lebih banyak ketimbang mereka yang belajar di Kuttab. Jika di Kuttab mereka hasilnya seperti itu, seharusnya di Ma’had bisa lebih banyak lagi.

Inilah rahasia Kuttab, dan bagaimana kisah sukses Kuttab mencetak lulusan terbaik di zaman keemasan Islam. [HAR]

Leave a Comment