Inspirasi Sahabat Nabi-1: Bagaimana Ibn ‘Abbas Menjadi Ulama’ Rabbani di Zamannya?

Nama lengkapnya, ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib. Dia adalah putra paman Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama. Lahir di Syi’b Abu Thalib, saat Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama diboikot bersama Bani Hasyim dan Bani Abdil Muthallib di sana.

Ketika lahir, dia didoakan Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama. Dalam doanya, Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama menyatakan, “Allahumma ‘allimhu fi ad-din [Ya Allah, jadikanlah dia orang yang alim dalam agama].” Dalam riwayat lain, “Allahumma faqqihhu fi ad-din [Ya Allah, jadikanlah dia orang yang faqih dalam agama].” Doa Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama begitu kuat pengaruhnya pada diri Ibn ‘Abbas. Dia pun dianugerahi kecerdasan oleh Allah di atas rata-rata. Di antara kecerdasan Ibn ‘Abbas, dia bisa menghapal 80 bait syair dengan sekali mendengar. Begitulah Ibn ‘Abbas.

Ibn ‘Abbas menetap di Makkah bersama orang tuanya, ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib hingga Kota Makkah jatuh ke tangan kaum Muslim, tahun 8 H. Setelah itu, Ibn ‘Abbas pun pindah ke Madinah. Umurnya saat itu sudah menginjak belasan tahun. Di Madinah, dia mulazamah dengan Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama kira-kira selama 2 tahun. Ada yang mengatakan, dia hanya meriwayatkan 8 hadits dari Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama. Ada yang mengatakan lebih. Yang pasti, jumlahnya tentu tidak sedikit. Terlebih dengan kecerdasan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya.

Di usianya yang masih belum genap 15 tahun, Ibn ‘Abbas sudah menguasai berbagai ilmu yang diserap dari Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa sallama dan para sahabat baginda. Semuanya itu merupakan hasil kerja kerasnya dalam menuntut ilmu. Suatu ketika, saat sama-sama masih kecil, seorang remaja Anshar menyoal kegigihannya dalam menimba ilmu, di saat sahabat-sahabat senior, seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Zaid bin Tsabit dan lain-lain masih ada. Namun, semua itu tidak dihiraukannya, dan dia pun tetap dengan sikapnya.

Dalam satu perkara, bahkan Ibn ‘Abbas tidak hanya mencukupkan diri bertanya atau menimba ilmu dari satu sumber, tetapi lebih dari satu. Bahkan dia biasa mendalami satu perkara dengan mencari lebih dari 30 sumber, atau 30 sahabat Nabi yang berbeda. Tak hanya itu, untuk mendapatkan satu ilmu, dia pun sanggup menunggu hingga tidur di depan pintu rumah gurunya, sebagaimana yang dia lakukan terhadap Zaid bin Tsabit.

Saat Zaid tahu yang menunggu hingga tertidur di depan pintu rumahnya adalah putra paman Nabi, beliau katakan, “Wahai putra paman Nabi, mengapa Anda tidak menulis surat saja tentang apa yang Anda butuhkan, maka saya pun akan datang kepada Anda?” Dengan santun dan tawadhu’, murid yang mulia ini pun menjawab, “Tidak, Tuan. Orang itu dimuliakan bukan karena nasabnya, tetapi karena ilmunya.”

Begitulah kesungguhan dan kegigihan Ibn ‘Abbas dalam mendapatkan ilmu. Tak hanya ikhtiar secara fisik, karena ilmu adalah pancaran cahana Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan cahaya ini tidak akan diberikan kepada orang yang maksiat, maka Ibn ‘Abbas pun menjaga kesucian diri dan jiwanya. Ibn ‘Abbas selalu menjaga dirinya dengan ketaatan, dan menjauhi sejauh-jauhnya kemaksiatan. Dia pun melanggengkan shalat tahajud, baik saat di rumah maupun bepergian. Munajatnya di tengah malam pun sangat mengagumkan.

Seiring dengan waktu, Ibn ‘Abbas pun tumbuh, berkembang dan menjelma menjadi ulama’ yang luar biasa, bukan saja dari aspek keilmuan dan hikmah, tetapi juga pribadi yang menakjubkan. Sampai ‘Umar pun kagum kepadanya. ‘Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya, yang juga menantu Nabi, dan dikenal sebagai Bab Madinatu al-‘Ilm [Pintu Kota Ilmu], sekaligus guru Ibn ‘Abbas sendiri ketika diangkat menjadi Khalifah bahkan menjadikan Ibn ‘Abbas sebagai penasihatnya.

Ibn ‘Abbas juga banyak mendapatkan tugas-tugas penting sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Antara lain, saat munculnya sekte Khawarij dan Murjiah, Ibn ‘Abbaslah orang yang ditunjuk oleh ‘Ali bin Abi Thalib untuk berdialog dengan mereka agar mereka kembali ke jalan yang haq. Sebagian besar mereka pun akhirnya kembali ke pangkuan Islam, meski sebagian kecil tetap bertahan dengan pendirinya. Itulah Ibn ‘Abbas.

Di zamannya, bahkan dia telah mendapatkan gelar sebagai lautan ilmu [bahru al-‘ulum]. Jika dia haji ke Baitullah, maka para ulama’ dari berbagai penjuru dunia berdatangan untuk menimba ilmu darinya. Mulai dari ulama’ ahli qira’ah, al-Qur’an, hadits, tafsir, fiqih, dan sebagainya semuanya mendapatkan bagian untuk berguru kepadanya secara bergantian, hingga habis. Pada saat yang sama, teman kecilnya, pemuda Anshar yang seusia dengannya, yang saat belia menyoal kegigihannya itu akhirnya menginsyafi kesalahan sikapnya, dan mengatakan, “Laqad shadaqa Ibn ‘Abbas [Sungguh benar, Ibn ‘Abbas].” Saat Ibn ‘Abbas telah menjelma menjadi ulama’ Rabbani yang luar biasa, sementara dia bukan siapa-siapa.

Tetapi, waktu yang hilang itu tidak bisa ditarik kembali. Yang ada tinggal penyesalan, setelah waktu dan masa muda dihabiskan sia-sia. Sebaliknya Ibn ‘Abbas, karena kesungguhan, kegigihan dan sikapnya yang istiqamah dalam menimba ilmu, akhirnya menuai apa yang ditanamnya. Dia telah menjadi ulama’ Rabbani yang luar biasa, bahkan gurunya sendiri, ‘Ali bin Abi Thalib pun membutuhkan nasihatnya.

Di penghujung hayatnya, dengan semua ilmu dan pengalamannya yang luar biasa, dia pun sempat menyatakan secara terbuka kepada masyarakat, “Bertanyalah kalian kepadaku tentang apa saja, mumpung saya masih ada.” Karena dia adalah lautan dan sumber ilmu. Konon saat itu, malaikat datang menjelma menjadi manusia, dan mengajukan pertanyaan kepadanya yang tak mampu dia jawab. Pertanyaan yang dimaksud untuk mengajarkan hikmah dan kearifan, agar kesombongan yang boleh jadi merasuki jiwanya itu terkikis dan hilang.

Benar saja, begitu pertanyaan yang diajukan orang itu tak mampu dia jawab, dia pun teringat ayat al-Qur’an, yang seolah menyadarkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِيْ عِلْمٍ عَلِيْمٌ

Dan di atas orang yang berilmu itu masih ada yang Maha Berilmu.” [Q.s. Yusuf: 76]

Sejak saat itu, dia pun banyak terdiam, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggilnya.

Begitulah sosok Ibn ‘Abbas Radhiya-Llahu ‘anhu, yang luar biasa. Semoga kita bisa memetik pelajaran dan ibrah dari kisah hidupnya. Amin ya Mujibas Sailin.

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
[Khadim Ma’had-Majelis Syaraful Haramain]
Bogor, 05 Oktober 2016 M
04 Muharram 1438 H

Leave a Comment