Inspirasi Ramadhan 2: Ramadhan, Takwa Dan Cita-Cita Agung

Nilai manusia, kata Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, ditentukan oleh apa yang dia cari. Karena itu, apa yang kita cari mencerminkan siapa kita, dan kedudukan kita. Apa yang kita cari, besar, kecil, agung, remeh, ecek-ecek dan hina itu pula yang mencerminkan diri kita. Maka, orang yang berjiwa besar akan bercita-cita dan mencari hal-hal besar. Orang yang berjiwa kerdil, akan bercita-cita dan mencari hal-hal kecil. Begitu juga orang yang agung dan mulia, akan akan bercita-cita dan mencari hal-hal yang agung dan mulia. Sebaliknya, orang yang rendah dan hina, akan bercita-cita dan mencari hal-hal yang murahan dan hina.

Syaikh Al-‘Affani dalam, Ruhban al-Lail wa Farsanan an-Nahar, menuturkan kisah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Saat kekuasaan tertinggi, dan teragung di kolong langit dan bumi dalam genggamannya, saat beliau menjadi Amirul Mukminin, salah seorang Khulafa’ Rasyidin yang adil, tak lantas membuatnya bangga, dan cukup. Karena ada cita-cita yang lebih tinggi dan mulia dari apa yang ada dalam genggamannya. Cita-cita mendapatkan ridha Allah SWT. Bahkan, tiap malam beliau pun harus terjaga, munajat dan menangis ke haribaan Rabb-nya. Itulah sosok yang memiliki jiwa yang tinggi dan agung.

Sosok yang berjiwa tinggi dan agung, dengan cita-cita luhur dan agung itu tidak lahir dengan sendirinya, tetapi dia harus dibentuk dan dilahirkan. Lalu, apa pondasi dan bekal terpenting dari semuanya itu? Jawabannya, adalah takwa. Takwa digambarkan oleh Sayyidina ‘Ali, karrama-Llahu wajhah, dengan empat karakter: al-khauf min ar-Rabb al-Jalil [takut kepada Rabb yang Maha Agung], al-‘amal bi at-tanzil [menjalankan al-Qur’an/hukum yang diturunkan Allah], ar-ridha bi al-qalil [ridha meski terhadap yang sedikit], dan al-isti’dad li yaum al-rahil [bersiap menghadapi Hari Penggiringan]. Inilah karakter orang yang bertakwa, menurut menantu dan saudara sepupu Nabi saw. itu.

Hanya saja, kunci dan pangkal ketakwaan itu dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an:

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ، وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ، وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ..

“[Orang-orang yang bertakwa] adalah mereka yang mengimani yang gaib, mendirikan shalat dan membelanjakan apa yang telah Kami anugerahkan kepada mereka.” [Q.s. al-Baqarah: 3]

Allah mendahulukan keyakinan kepada yang gaib, sebelum menunaikan shalat dan membelanjakan harta, karena keyakinan kepada yang gaib ini adalah kuncinya. Karena keyakinan kepada yang gaib ini adalah pondasinya. Tanpanya, tidak mungkin mereka bisa mendirikan shalat, dan membelanjakan hartanya. Keyakinan kepada yang gaib, tentang Allah yang Maha Tahu, Melihat dan Berjanji memberikan pahala dan surga itulah yang mendorong mereka meski dengan berat akhirnya mendirikan shalat. Begitu juga orang yang berinfak, meski dengan berat, akhirnya sanggup dia kerjakan, karena keyakinannya bahwa Allah Maha Tahu, Melihat dan Berjanji akan membalasnya.

Keyakinan kepada yang gaib itulah yang membuat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tidak silau dengan kekuasaan, dan jabatan tertinggi yang ada dalam genggamnya. Jabatan mentereng, dan kedudukan yang tinggi di dunia itu pun tidak membuatnya lupa diri. Karena keyakinannya kepada yang gaib, bahwa di sana ada Allah yang ridha-Nya lebih dari segalanya. Tidak ada artinya kedudukan dan jabatan yang tinggi dan agung itu dalam genggaman, jika Allah tidak ridha. Itulah sosok manusia yang berjiwa agung dan tinggi. Mata dan hatinya bisa menembus dinding “dhahir kehidupan dunia” yang tebal, entah itu anak, isteri, gaji dan jabatan, termasuk pujian kawan, dan acaman musuh.

Keyakinan kepada yang gaib inilah yang ditanamkan oleh Allah SWT kepada Nabi saw. Keyakinan yang sama kemudian ditanamkan Nabi saw. kepada para sahabat, ridhwanu-Llah ‘alaihim. Keyakinan kepada yang gaib inilah yang membuat Abu Bakar radhiya-Llahu ‘anhu berani bertaruh dengan orang Kafir Quraisy, saat Emperium Persia mengalahkan Emperium Romawi, bahwa setelah ini Emperium Romawilah yang akan menang, sekaligus meyakini kemenangan kaum Muslim atas orang Kafir Quraisy. Allah SWT pun membenarkan keyakinan Abu Bakar, dengan menurunkan Q.s. ar-Rum 1-2 kepada Nabi saw. Kalau bukan karena keyakinannya kepada yang gaib, mustahil Abu Bakar bisa melakukannya.

Keyakinan kepada yang gaib inilah yang kini terkikis dari umat Islam. Akibatnya, mereka silau dengan yang dhahir. Karena terkikisnya keyakinan kepada yang gaib itu, mereka pun silau dengan penguasa dan sistem non-Islam. Mereka pun silau dengan kedikdayaan modal, media dan jaringan cukong dan mafia, saat yang sama mereka melupakan sandaran hakikinya, Allah SWT. Padahal, ketika mereka kalah secara materi, satu-satunya kekuatan mereka justru ada pada keyakinannya kepada yang gaib. Tetapi, sayangnya itu pun tidak ada. Akibatnya, mereka pun tetap terbelenggu “perbudakan” penjajah dan antek-anteknya.

Saat Papua, dengan tambang emas terbesarnya di dunia, dan lebih 90 persen sumber Migas negerinya dikangkangi oleh negara adidaya, seolah umat di negeri ini pun tak berdaya. Menyerah, dan tak sanggup berbuat apa-apa, selain pasrah. Semuanya ini karena hilangnya keyakinan kepada yang gaib, keyakinan bahwa daya dan kekuatan itu milik Allah, la haula wa la quwwata illa bi-Llah, bukan milik negara adidaya. Akibatnya, keadidayaan negara penjajah itu lebih mereka takuti ketimbang keMahaadidayaan Allah SWT. Karena itu, kita pun menjadi bangsa dan umat yang kerdil, hina dan terus terjajah.

Maha Besar Allah yang telah menetapkan puasa di bulan Ramadhan dengan hikmah takwa. Hikmah yang mestinya tiap tahun bisa diraih oleh umat Islam setelah menunaikannya. Andai saja takwa, kunci dan pondasinya, yaitu keyakinan kepada yang gaib, serta empat karakternya, sebagaimana yang dijelaskan oleh orang yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya itu bisa diraih dengan sempurna, umat Islam hari ini akan menjadi umat yang tinggi dan mulia. Umat terbaik sebagaimana generasi sebelumnya.

Semoga hikmah takwa ini bisa kita raih di bulan Ramadhan yang agung dan mulia ini dengan sempurna. Dengannya, semoga kita dikembalikan oleh Allah SWT menjadi umat yang mulia, agung dan terbaik sebagaimana generasi sebelum kita. Maka, inilah momentum yang sangat tepat untuk mengembalikan kemuliaan, keagungan dan ketinggian jiwa kita. Kemuliaan, keagungan dan ketinggian yang terbentuk karena mata dan hati kita mampu menembus tebalnya dinding “dhahir kehidupan dunia”.

Semoga kemuliaan dan keagungan Ramadhan benar-benar meninggikan derajat kita, dengan cita-cita kita yang tinggi dan mulia, dengan pekerjaan dan aktivitas agung yang kita torehkan di dalamnya. Amin..

Leave a Comment