Inspirasi Haji – 3: Ketika Para Sahabat Bekerja Keras dan Selalu Menangis

Menyusuri jejak para sahabat selama di Makkah, tak kuasa kita menahan air mata. Meski tapak-tapak rumah mereka, juga rumah Nabi bersama ibunda Khadijah telah rata dengan tanah, tetapi bayangan apa yang pernah mereka lalukan di tempat ini sungguh tak bisa dihapus dengan mudah.

Pelataran Ka’bah, Hijir Ismail, Shafa, Marwa, Jabal Abi Qubais, Jabal Ajyad, Syi’b Abu Thalib, Jabal Tsur, Jabal Nur, Masjid Bai’at di Mina, Masjid Namirah, Padang Arafah, Jabal Rahmah, Masy’ar al-Haram, Muzdalifah, hingga Ji’ranah dan Hudaibiyyah saat semuanya kita jejaki, rasanya bayangan Nabi dan para sahabat seolah hadir kembali. Jejak-jejak kehidupan mereka tak kan pernah lenyap dari muka bumi, meski telah tertimbun dengan bangunan baru. Selama kita terus mengingati, menghayati dan menghadirkannya kembali. Terutama, saat-saat kita melakukan tafakur, saat melakukan Tarwiyah di Mina, Wukuf di Arafah dan Mabit di Muzdalifah dan Mina.

Terkadang saya bertanya, “Mengapa, Allah menetapkan Mina, Arafah dan Muzdalifah, atau Makkah dan Madinah sebagai tempat berhaji?” Maka, kadang terlintas jawaban, saat saya membaca dan menghayati ayat al-Qur’an, “Inna ha’ulai yuhibbuna al-‘ajilata wa yadzaruna wara’ahum yauman tsaqila [Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia, dan melupakan hari yang sangat berat [Hari Kiamat] di bekalang mereka].” (Q.s. al-Mursalat: 27). Hari setelah kita dibangkitkan dari kubur itu adalah hari yang sangat berat. Allah menyebutnya dengan “Yauman Tsaqila”, dimana terik panas matahari begitu luar biasa menyengat kepala dan tubuh kita. Kita harus antri menunggu giliran, dimintai pertanggungjawaban oleh Allah satu per satu.

Miniatur “Yauman Tsaqila” itu kita temukan, saat lebih dari 4 juta orang berkumpul di Mina, Arafah dan Muzdalifah, dengan terik panas yang luar biasa. Semuanya berkumpul di padang. Saat ini kita memang masih bisa berteduh, tetapi nanti, saat “Yauman Tsaqila” itu benar-benar kita lalu, oh.. tidak bisa dibayangkan betapa beratnya. Maka, kita diperintahkan untuk banyak melakukan tafakur, merenungkan apa yang telah, sedang dan akan kita lakukan dalam hidup ini untuk menghadapi “Yauman Tsaqila” itu.

Maka, saat Khutbah Arafah, kami pun tak kuasa menahan air mata, ketika membayangkan diri kita, dengan dosa-dosa yang tak terkira, dan bagaimana kelak kita akan menghadapi “Yauman Tsaqila”. Terlebih, saat kita membandingkan diri yang tertawan dosa ini dengan para sahabat Nabi yang selalu menangis, karena takut kepada Allah, takut menghadapi “Yauman Tsaqila”. Bukan takut karena dosa mereka banyak, kata Nabi. Tetapi, takut karena amal mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Allah Akbar.

Kalau para sahabat takut amal mereka tidak diterima, membuat mereka berhati-hati dan tidak menambah dosa, sembari terus menangisi kekurangan diri mereka, kita justru merasa aman. Seolah amal kita sudah sempurna, dan sudah diterima oleh Allah SWT. Padahal, yang membuat amal kita diterima oleh Allah itu, karena keikhlasan dan benarnya amal kita. Sementara dua hal ini sulit kita raih dengan sempurna, jika dibanding dengan para sahabat Nabi. Belum lagi, jika ditambah dengan dosa-dosa kita. Anehnya, kita tetap saja sulit menangis, sebagaimana mereka selalu menangis dan bekerja keras untuk terus-menerus menyempurnakan amal perbuatan mereka.

Mereka pun sanggup mengarungi berbagai kesulitan untuk menunaikan panggilan Allah. Begitu Allah memanggil mereka, apapun yang ada di sekitar mereka seketika mereka acuhkan, seolah tidak ada. Begitulah, bagaimana Aisyah menggambarkan Nabi, saat mendengar panggilan adzan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Begitulah sikap para sahabat, saat mereka mendapat panggilan Allah. Abu Ayyub al-Anshari, meski usianya sudah lebih dari 80 tahun, tetap berangkat menunaikan panggilan jihad, “Infiru khifafan wa tsiqalan..” [Berangkatlah kamu dengan ringan atau berat..] (Q.s. at-Taubah: 41). Begitu juga Thalhah, hingga akhirnya Allah mewafatkan mereka dalam perjalanan di jalan Allah SWT.

Para sahabat yang sudah dijamin surga oleh Allah, melalui lisan mulia Nabi-Nya pun selalu menangis, dan takut, jika kelak amal perbuatan mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Mereka takut, saat “Yauman Tsaqila” amal yang mereka harapkan bisa menolong mereka ternyata sia-sia. Boleh jadi, karena amal itu masih banyak dikotori dengan ketidakikhlasan, riya’, sum’ah dan kesombongan. Sesuatu yang sangat halus, dan begitu luar biasa lembutnya. Maka, ‘Umar pun berandai, “Laitani kuntu mansiya” [Andai saja aku dulu bukan siapa-siapa, dilupaka], saat menjelang ajalnya tiba. Bahkan, Abu Bakar pun sempat berandai-andai menjadi burung, “Ya thairu, ma an’amaka, laitani kuntu mitslaka.” [Wahai burung, alangkah enaknya dirimu. Andai saja aku dulu menjadi seperti kamu.”

Semuanya itu, karena mereka saking takutnya menghadapi “Yauman Tsaqila”. Kita pun mestinya sama. Takut, bagaimana nasib kita saat menghadapi “Yauman Tsaqila” itu. Maka, sebagaimana sahabat, mereka bekerja keras, hingga mereka sanggup berhaji dengan jalan kaki, dari Madinah ke Makkah, Makkah ke Madinah, tidak hanya sekali, bahkan lebih dari 20 kali. Mereka juga sanggup berperang meski terik panas, dan musim kemarau, kering kerontang, dengan bekal yang sangat minim, karena paceklik. Sebagaimana yang mereka lakukan bersama Nabi saat Perang Tabuk, dan peperangan-peperangan lainnya. Semuanya itu untuk menjadi bekal menghadapi “Yauman Tsaqila”.

Maka, tercatat selama 10 tahun bersama Nabi, mereka pun lebih dari 79 kali berperang. Pun begitu, mereka malamnya selalu mujahadah, dan air mata mereka pun tumpah, karena takut amal mereka yang begitu luar biasa itu tidak diterima, dan tak cukup untuk menghadapi “Yauman Tsaqila”. Mungkin karena mereka paham hadits Nabi, sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz Ibn al-Jauzi, “Andai saja Anak Adam sanggup mengerjakan amal perbuatan 100,000 Nabi, 100,000 orang Shiddiq dan 100,000 Syuhada’, mereka mengira itu bisa menyelamatkan mereka dari neraka, padahal tidak.” Allah Akbar.

Semoga kita mendapatkan ampunan dari Allah atas dosa-dosa dan kekhilafan kita. Semoga amal kita diterima oleh Allah SWT, dan dengannya Allah menempatkan kita bersama Nabi dan para sahabatnya di dalam Jannah-Nya. Amin ya Rabbal al-Alamin.

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman (Khadim Ma’had Syaraful Haramain)
Makkah al-Mukarramah

19 September 2016 M
17 Dzulhijjah 1437 H

Leave a Comment