Inspirasi Haji – 2: Menyusuri Jejak Politik Ibadah Haji

Selama ini haji hanya ditunaikan oleh umat Islam sebagai ibadah ritual, hanya ibadah mahdhah semata. Padahal, di balik ibadah haji banyak pelajaran yang bisa diambil, sekaligus mengungkap sisi politik yang mengantarkan umat ini hingga meraih predikat sebagai umat terbaik.

Tetapi, semuanya itu tentu tidak tampak di permukaan. Karena aspek-aspek politik, terutama perjuangan Nabi dan para sahabat di balik ritual dan simbol haji itu telah terkubur dalam lembaran sejarah. Hanya orang-orang yang diberi akal, kecerdasan dan pemikiran cemerlanglah yang bisa mengungkap lembaran-lembaran yang sudah terpendam itu.

Ketika kita memasuki kota Makkah, bayangkanlah kota ini adalah kota kelahiran Nabi Muhammad shalla-Llahu ‘alahi wa sallam. Di kota inilah Nabi yang mulia dilahirkan, dididik dan dibesarkan. Tempat kelahirannya pun hingga kini masih ada, tertampak pada bangunan tua, dengan nama Maktabah Makkah al-Mukarramah. Di situ, Nabi yang mulia itu lahir, dari rahim wanita mulia, Sayyidah Aminah binti Wahab. Saat kelahirannya, baginda ditolong oleh ibunda Abdurrahman bin Auf, as-Syifa.

Baginda dilahirkan dari rahim ibundanya, diiringi sinar yang memancar ke arah Syam. Isyarat, bahwa kelak risalah dan kekuasaannya akan sampai ke sana. Bahkan, api abadi yang tak pernah padam, dan disembah oleh orang Majusi, seketika padam, saat kelahirannya. Begitu juga patung dan arca yang disembah kaum Pagan berjatuhan, entah mengapa, di saat kelahirannya. Itu semua pertanda. Bayi manusia mulia itu pun terlahir dengan sujud, sambil jari telunjuknya menengadah ke atas, dengan iringan doa. Tak ada tangisan yang keluar dari mulut sucinya, layaknya bayi pada umumnya.

Semuanya itu isyarat akan kemuliaannya. Pendek kata, di kota inilah, Nabi yang mulia itu dilahirkan, dididik dan dibesarkan, hingga mendapatkan risalah saat usianya matang. Di sinilah, Nabi bersama ibunda Khadijah dan para sahabatnya memulai dakwahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Telah datang kebenaran [Islam], dan tersungkurlah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan pasti akan tersungkur.” Namun, Islam tidak akan menang dengan sendirinya, tetapi harus dimenangkan. Begitu juga kebatilan tidak akan kalah dengan sendirinya, tetapi harus dikalahkan.

Maka, Nabi pun berdakwah selama 13 tahun di Makkah untuk memenangkan Islam, dan mengalahkan kekufuran. Masjidil Haram, bebukitan, gunung-gunung dan sekitarnya telah menjadi saksi dakwah dan perjungan baginda bersama para sahabatnya. Ketika kita Thawaf, terbayang di dekat Ka’bah, saat membaca, “Allahu Akbar, Bismillahi Allahu Akbar” itu wajah-wajah para sahabat saat berdakwah. Betapa tidak, dulu mereka tidak boleh mengucapkan kalimat seperti itu. Mereka juga tidak bisa melakukan thawaf dengan leluasa. Jika mereka melakukannya, pasti mereka akan ditangkap, dan disiksa. Jadi, kalau sekarang bisa melakukannya, itu tidak lepas dari jasa mereka.

Dulu, sebelum hijrah, saat Nabi shalat di dekat Ka’bah, baginda tidak bisa menghindari penyiksaan dan penganiayaan mereka. Pernah ‘Uqbah bin Abi Mu’aith memukul tengkuk Nabi dengan tulang unta, hingga pingsan. Rumah baginda bersama isteri tercinta pun tak lepas dari serangan teror mereka. Kotoran kambing yang mereka sembelih untuk Latta dan Uzza, mereka lemparkan ke rumah baginda.

Ketika kita melintasi Hijir Ismail, di luar sana, lurus dengan Hijir Ismail itu ada Darun Nadwah, tempat yang menjadi markas kaum Kafir merancang strategi untuk menentang dan mengalahkan dakwah Nabi. Tempat itu memang sudah tidak ada, tetapi bayangan akan tempat itu tak bisa hilangan dari ingatan kita, saat kita tahu betapa besar peranannya. Di situlah, saat Nabi menunaikan Umrah Qadha’, tahun ke-7 H, orang-orang Kafir berkumpul, sambil berharap-harap cemas, setelah mereka mendengar berita, bahwa rombongan umrah Nabi telah diserang virus Yatsrib.

Mereka berharap berita itu benar, sembari terus mendoakan keburukan untuk Nabi dan para sahabatnya. Tetapi, Nabi yang jenius itu tahu apa yang ada di kepala musuhnya. Nabi pun menginstruk

sikan kepada para sahabat yang menyertainya dalam Umrah Qadha’ untuk tidak menampakkan sakitnya. Nabi perintahkan mereka untuk memakai pakaian ihram dengan Idhthiba’, dimana selendang atas menutupi pundak dan ketiak sebelah kiri, sedangkan pundak dan ketiak sebelah kanan terbuka. Mereka pun diperintahkan untuk berlari kecil pada putaran pertama hingga ketiga, yang dikenal dengan ar-raml.

Benar saja, begitu instruksi tersebut mereka laksanakan, maka persepsi mereka bahwa kaum Muslim yang tengah umrah itu terserang virus Yatsrib buyar seketika. Begitulah, cara Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kekuatan kaum Muslim, dan meruntuhkan mental musuh-musuhnya. Umrah Qadha’ ini sendiri dikerjakan oleh Nabi, setelah tahun sebelumnya, rombongan baginda beserta sahabat untuk Umrah Hudaibiyyah dihalangi pasukan Khalid bin Walid, yang akhirnya hatinya justru tertambat kepada Islam.

Meski gagal ditunaikan, tetapi Umrah Hudaibiyyah telah berhasil mewujudkan misi Nabi dan Negara Islam di Madinah yang luar biasa. Karena misi Nabi yang sesungguhnya di balik umrah yang gagal ini adalah melakukan Perjanjian Damai, yang kemudian dikenal dengan Shulh Hudaibiyyah. Perjanjian ini berhasil mengikat kaki dan tangan kaum Quraisy, sehingga tidak bisa bergerak. Ketika mereka berusaha membangun koalisi dengan Yahudi Khaibar. Nabi, melalui perjanjian Hudaibiyyah ini berhasil mengikat kaum Kafir Quraisy untuk tidak menyerang kaum Muslim, dan sebaliknya.

Begitu juga, melalui perjanjian ini, Nabi juga berhasil membuka pintu Makkah selebar-lebarnya untuk dakwah Islam, melalui dua jalur sekaligus. Pertama, penduduk Makkah yang datang ke Madinah, dan harus dikembalikan ke Makkah. Mereka ini bisa menjadi corong propaganda Islam di Makkah, dengan menggunakan lisan mereka sendiri. Kedua, orang-orang Islam yang datang dari Madinah ke Makkah, yang tidak boleh kembali lagi ke Madinah. Mereka di Makkah bisa leluasa berdakwah menyebarkan Islam.

Akhirnya, melalui dua pintu ini, Makkah dalam waktu singkat berhasil dikondisikan, sehingga saat Umrah Qadha’, Nabi dan para sahabat bisa melihat langsung bagaimana sambutan penduduknya. Setelah itu, apa yang dijanjikan oleh Allah dalam Q.s. al-Fath, yang turun tahun ke-6 itu akhirnya menjadi kenyataan, pada tahun 8 H, ketika Makkah benar-benar berhasil ditaklukkan. Saat itu, mereka berbondong-bondong memeluk Islam, kecuali hanya segelintir orang yang masih tetap bertahan.

Perubahan besar ini, karena dakwah. Dakwah dengan visi dan misi memenangkan yang haq, dan mengalahkan yang batil. Visi dan misi yang dirumuskan dengan jelas, sistematis, dan direalisasikan dengan istiqamah oleh Nabi dan para sahabat. Inilah kesadaran politik tingkat tinggi Nabi dan para sahabat. Bukti yang paling nyata adalah, ketika Perjanjian Hudaibiyyah ditentang sedemikian rupa, termasuk oleh sahabat senior, tetapi Nabi tetap tak bergeming dengan pendiriannya. Itu karena visi, misi dan kesadaran politik Nabi yang luar biasa, yang tidak bisa dibaca oleh orang sekelas Umar sekalipun.

Ketika kita melaksanakan Sai dari Shafa ke Marwa, di situ kita bisa menyusuri jejak pembinaan dan pembentukan jamaah dakwah yang pertama kali, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Di Shafa, Nabi pernah menyatakan kepada, “Ya Khalid, najtami’ huna, min haitsu bada’a bihi-Llahu wa Rasuluhu”, ungkapan yang kemudian menjadi doa para jamaah haji dan umrah, saat memulai Sai di atas bukit Shafa, “Nabda’u bima bada’a-Llahu bihi wa Rasuluhu.” Bahkan, dalam kalimat doa yang dibaca di Shafa dan Marwa pun terselip misi itu, “Lailaha illa-Llahu wahdah, shadaqa wa’dah, wa nashara ‘abdah, wa ‘a’azza jundahu wa hazama al-ahzaba wahdah.”

Shafa dan Marwa telah menjadi saksi perjuangan Nabi dan para sahabatnya. Bahkan, di sebelah kanan antara Shafa dan Marwa itu ada lembah, yang dikenal dengan nama Syi’b Abu Thalib. Di lembah inilah, Nabi bersama isteri tercintanya, Khadijah, serta Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib diboikot kaum Kafir Quraisy selama 3 tahun. Mereka semuanya bertahan di sana selama 3 tahun tanpa akses makanan, dengan harapan mereka akan meninggalkan Nabi, bahkan berbalik menyerangnya. Tetapi tidak.

Di atas bukit Shafa juga, ketika pertama kali diutus oleh Allah, Nabi berpidato kepada kaum Kafir, “Ya Ma’syara Quraisy, inna ar-raida la yakdzibu ahlah.” [Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya seorang pemimpin tidak ada membohongi rakyatnya]. Deklarasi tentang sikap dan fatsun politik yang agung dan luhur, tentang kejujuran seorang pemimpin.

Ketika kita meninggalkan Makkah menuju ke Mina dan Arafah, kita akan melintasi Jabal Tsur, yang monumental. Karena gunung ini menjadi saksi detik-detik perjalanan hijrah Nabi bersama Abu Bakar. Bahkan, Jabal Tsur telah menjadi saksi bagaimana pengorbanan keluarga Abu Bakar as-Shiddiq yang luar biasa. Ada Asma’, Aisyah, Abdurrahman dan budak Abu Bakar. Mereka semua menjadi tim yang sukses mengantarkan Nabi hingga sampai ke Madinah dengan selamat. Wajar, jika Umar bersumpah, “Wallahi, lalailatu Abi Bakar, khairun min Umar wa alihi.” [Demi Allah, satu malam Abu Bakar lebih baik ketimbang Umar dan seluruh keluarganya].

Di Mina, Nabi bermalam tanggal 8 Dzulhijjah untuk melakukan persiapan haji [Tarwiyah]. Di Mina pula, tepatnya di Aqabah, ada saksi sejarah yang hingga kini masih ada, Masjid Bai’at, masjid yang dibangun di Zaman ‘Abbasiyyah untuk mengabadikan momentum pembaiatan Nabi oleh kaum Anshar. Dua kali mereka memberikan bai’at kepada Nabi. Pertama, sebanyak 17 orang, saat musim haji. Mereka memberikan bai’at untuk memeluk Islam. Kedua, sebanyak 75 orang, 2 di antaranya wanita. Bai’at yang kedua ini untuk memberikan kekuasaan [nushrah] kepada Nabi. Masjid ini dekat dengan tiang Aqabah, di Mina.

Ketika kita ke Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah, kita akan melihat saksi sejarah, Masjid Namirah, yang dibangun untuk mengabadikan tempat Nabi khutbah Wukuf dan shalat Dhuhur dan Ashar, dengan dijamak taqdim-qashar. Setelah itu, Nabi bergerak melewati Wadi Uranah, untuk mengambil wukuf di Arafah. Karena, “al-Hajju ‘Arafah” [Inti haji adalah wukuf di Arafah]. Tempat-tempat ini luar biasa. Di Masjid Namirah itu, Nabi khutbah sebagai kepala negara. Pesannya jelas, “Inna dima’akum, wa amwalakum, wa a’radhakum haramun ‘alaikum..” [Darah, harta dan kehormatan kalian haram kalian ciderai], sebagaimana menciderai hari Arafah, di bulan dan tanah haram.

Tidak hanya itu, Nabi juga menegaskan pentingnya menghormati wanita, dan memperlakukannya dengan baik. Bahkan, menjadikan itu sebagai standar baik dan tidaknya seorang pria. Selain itu, dengan tegas, riba pun baginda saw. batalkan untuk selamanya. Dalam pidatonya, Nabi selalu mengakhiri dengan permintaan syahadah dari para sahabat, “Afala uballigukum risalata rabbi?” [Apakah aku sudah menyampaikan risalah tuhanku], mereka kompak menjawab, “Bala, syahidna.” [tentu, kami telah menjadi saksi].

Setelah itu, di lereng Jabal Rahmah, Nabi mendapatkan wahyu yang menitahkan segera berakhirnya tugas baginda. Q.s. al-Maidah: 03 turun di Hari Arafah, di Arafah, tepatnya di lereng Jabal Rahmah. Saat ayat ini turun, seluruh sahabat bergembira, kecuali seorang sahabat, yang tak lain, mertua Nabi sendiri, Abu Bakar. Dia menangis terisak-isak. Para sahabat pun bertanya, “Gerangan apakah yang membuatnya sedih, di saat yang lain menyambutnya dengan suka cita?” Abu Bakar menjawab dengan retorik, “Tidakkah sesuatu setelah sempurna, berarti yang membawanya akan meninggalkan kita?” Artinya, sebentar lagi, orang yang paling mereka cintai, Nabi akan segera meninggalkan mereka.

Seolah tidak yakin dengan jawaban Abu Bakar, mereka pun datang memastikan kepada Nabi, dan Nabi pun menjawab, “Apa yang dikatakan Abu Bakar itu benar.” Sontak mereka pun menangis. Takut kehilangan manusia yang paling mereka cintai melebihi apapun yang mereka miliki. Begitulah, tepat hari Senin, Rabiul Awwal 10 H, Nabi dipanggil menghadap kekasihnya. Langit Madinah pun gelap seketika, hingga Umar pun hendak membunuh siapa saja yang mengatakan Muhammad telah tiada. Lagi-lagi, Abu Bakarlah orang yang berhasil menyadarkan Umar, “Siapa saja yang menyembah Muhammad, Muhammad telah tiada. Tetapi, siapa yang menyembah Allah, Allah tidak pernah mati selamanya.”

Jasad mulianya pun dimakamkan di rumah isterinya, Aisyah. Hingga kita, para jamaah haji pun bisa menziarahinya, mengucapkan salam, dan shalawat untuknya. “Assalamu’alaika ya Rasulullah, Asyhadu alla ilaha illa-Llah, wa asyhadu annaka rasulullah. Balaghta ar-risalah, wa addaita al-amanah, wa nashahta al-ummah, wa jahadta fillahi haqqa jihadih hatta ataka al-yaqin.” Baginda pun dikembalikan ruhnya, dan menjawab salam kita. Begitulah..

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA (Khadim Ma’had Syaraful Haramain)

Makkah al-Mukarramah, 7 September 2016 M
5 Dzulhijjah 1437 H

Leave a Comment