Inspirasi Haji – 1: Beginilah Jadinya Ketika Haji Dipandang Sebagai Panggilan Allah

Haji adalah panggilan Allah. Begitulah yang Allah Subhanahu Wata’ala nyatakan sendiri dalam al-Qur’an, surat al-Hajj: 27.

“Kumandangkanlah seruan haji kepada umat manusia, maka mereka pun akan datang kepadamu, baik dengan berjalan kaki, atau dengan mengendarai tunggangan yang kurus, datang dari tiap pelosok yang nuh jauh.”

Dalam kitab-kitab Tafsir dituturkan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun kemudian naik di atas Jabal Abi Qubais, dari atas gunung tinggi yang lerengnya menyambung ke bukit Shafa itu, beliau laksanakan perintah Allah. Beliau berkata, “Wahai manusia, rumah Allah telah dibangun, dan diwajibkan kepada kalian untuk menunaikan haji, maka berhajilah kalian.” Maka, mereka pun menjawab seruan Nabi Ibrahim itu dengan berdatangan ke Makkah, sambil mengumandangkan talbiah, “Laibaika-Llahumma Labaik, Labbaika la syarika laka Labbaik, inna al-hamda wa an-ni’mata laka wa al-mulk, la syarika laka.”

Konon yang memenuhi seruan Nabi Ibrahim ‘alaihisalam pertama kali adalah penduduk Yaman, yang jarak tempuhnya dengan Makkah, kurang lebih 1,100 km. Waktu yang mereka butuhkan pun kurang lebih selama dua pekan. Nabi Muhammad salla-Llahu ‘alaihi wa sallam pun memenuhi panggilan Allah ini saat Haji Wada’ dengan naik tunggangan, kadang berjalan kaki, dari Madinah ke Makkah kurang lebih 8 hari. Bahkan, cucu Nabi, Sayyidina Hasan radhiya-Llahu ‘anhu menunaikannya dengan berjalan kaki, kurang lebih sebanyak 23 kali.

Maka, haji bukan hanya soal menunaikan kewajiban yang diserukan oleh Allah, bagi yang mampu, tetapi haji juga merupakan panggilan Allah yang hanya bisa diwujudkan oleh orang-orang Mukmin yang mempunyai keyakinan kuat kepada Dzat yang memberi panggilan. Kemampuan orang dalam menunaikan kewajiban ini sangat relatif, karena ada yang mampu secara riil, dan ada yang tidak mampu tapi dengan berbagai wasilah akhirnya menjadi mampu, dan bisa berangkat ke tanah suci.

Sebaliknya, ada yang tampak mampu, tetapi tidak mau memenuhi panggilan ini. Ini adalah masalah kedua, yaitu keyakinan. Justru inilah yang paling penting, dan faktor keyakinan inilah yang paling menentukan. Jika faktor keyakinan yang ada pada diri seseorang ini lemah, maka dorongan dan semangatnya untuk menunaikan kewajiban ini juga lemah. Sebaliknya, jika keyakinannya kuat, maka dorongan dan semangatnya untuk menunaikan kewajiban ini pun kuat. Karena itu, tidak jarang Allah kemudian berikan jalan kepadanya untuk sampai ke rumah-Nya.

Melonjaknya jumlah calon jamaah haji reguler, hingga daftar tunggunya mencapai 20-25 tahun menunjukkan adanya semangat dan dorongan yang kuat untuk menunaikan kewajiban ini. Meski terkadang jalannya salah, baik dari aspek hukum maupun administrasi. Kasus calon jamaah Indonesia yang tertangkap di Filipina juga menggambarkan realitas ini. Belum lagi jamaah haji yang berangkat dengan visa haji, tetapi tidak menggunakan jalur pemerintah, yang biasa disebut Furada. Atau, haji dengan visa Umal dan Ziara, yang tentu tidak sedikit biayanya.

Semuanya itu adalah gambaran, betapa haji bukan sekedar kewajiban, tetapi panggilan suci dari Rabb yang Maha Suci, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pendek kata, karena keyakinan yang membuncah itulah, apapun bisa mereka lakukan demi menunaikan panggilan-Nya. Meski tidak jarang mereka yang terlantar, terlunta-lunta, hingga menjadi korban penipuan, pemerasan dan sebagainya.

Andai saja, panggilan dan kewajiban ini ditunaikan dengan benar, dengan sistem dan hukum yang benar, tentu kasus-kasus yang selama ini menimpa jamaah haji tidak akan terjadi. Sistem dan hukum yang melayani, sehingga kewajiban dan panggilan suci ini bisa diwujudkan dengan baik dan menentramkan hati. Itulah mengapa, kita membutuhkan sistem dan hukum Islam untuk diterapkan kembali. Wallahu a’lam.

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman, MA (Khadim Ma’had Syaraful Haramain)
Makkah, 29 Agustus 2016 M, 25 Dzulqa’dah 1437 H

Leave a Comment