Cara Khilafah Mengatasi Teror
Teror, dalam bahasa Arab, disebut irhab. Secara harfiah, irhab berarti menakut-nakuti [ikhafah wa takhwif]. Dalam fikih Islam, irhab dibedakan dengan hirabah. Sebab, hirabah ini bertujuan untuk merampas harta, sedangkan irhab bertujuan untuk menakuti sasaran yang dianggap sebagai musuh agar tunduk mengikuti kehendak pelaku teror.
Karena itu, aksi teror ini bisa dilakukan oleh individu, kelompok atau negara. Targetnya juga bisa individu, kelompok atau negara. Media yang digunakan bisa materi, seperti senapan, bom, dan sejenisnya maupun non-materi, seperti kata-kata dan sejenisnya.
Secara umum, teror yang dilakukan terhadap umat Islam atau Ahli Dzimmah yang hidup di dalam wilayah Negara Khilafah hukumnya haram. Baik teror tersebut dilakukan oleh individu, kelompok maupun negara.
Mengatasi Teror Individu dan Kelompok
Teror yang dilakukan di dalam wilayah negara ditangani oleh Departemen Keamanan di dalam negeri [Da’iratu al-amni ad-dakhili], melalui polisi [syurthah]. Polisi sebagai aparat diberi kewenangan menangkap, menahan dan melakukan penyidikan. Penangkapan, penahanan dan penyidikan ini didasarkan kepada “bukti” permulaan. Hanya saja, dalam penyidikan tidak boleh melakukan intimidasi, teror dan ancaman. Polisi dan aparat keamanan, termasuk intelijen, juga tidak diberi hak untuk melakukan penyadapan, dan memata-matai rakyat.
Jika dalam proses penyidikan tersebut terbukti, misalnya ada pengakuan [iqrar] dari pihak pelaku, maka kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Di pengadilanlah pelaku teror akan divonis oleh hakim dengan sanksi ta’zir. Berat dan ringannya diserahkan kepada hakim. Tetapi, jika dalam penyidikan tidak terbukti, karena tidak ada pengakuan, dan tidak ada saksi, maka pelaku harus dilepaskan.
Ini jika pelaku teror tersebut individu. Tetapi, jika pelaku teror tersebut kelompok, apalagi kelompok bersenjata, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Turki Muda dan militer yang dipimpin oleh Kemal Attaturk saat menggulingkan kekuasaan Sultan Abdul Majid II, maka polisi dan militer harus bahu membahu menumpas aksi teror tersebut. Jika polisi dan militer tidak mampu, maka rakyat wajib membantu. Karena, hukum mempertahankan negara yang menerapkan syariat Islam hukumnya wajib, bukan hanya bagi polisi dan militer, tetapi juga seluruh kaum Muslim.
Individu atau kelompok seperti ini, karena terbukti menjadi kepanjangan tangan kepentingan negara Kafir Harbi, yaitu Inggris dan Perancis, disebut sebagai Ahlu ar-Raib [pihak yang dicurigai]. Terhadap mereka, aparat keamanan boleh memata-matai, termasuk melakukan penyadapan, sebelum dan setelah mereka ditumpas. Terhadap mereka, individunya bisa dikenai ta’zir hingga hukuman mati, bergantung keputusan pengadilan. Sedangkan organisasinya dibubarkan.
Mengatasi Teror Negara
Negara Khilafah sebagai penjaga dan pengayom rakyat tidak boleh mengatasi teror dengan teror. Negara tidak boleh berubah menjadi negara militer, negara polisi atau koboi. Karena ini telah menyebabkan dharar, bukan saja bagi individu, tetapi juga negara itu sendiri. Karena negara telah memposisikan dirinya menjadi musuh rakyat. Ketika rakyat yang menjadi pemilik kekuasaan [shahib as-sulthah] dan sandaran kekuasaan [sanad al-hukm] telah menjadi musuh, maka negara seperti ini hanya tinggal menunggu lonceng kematiannya.
Ketika Mu’awiyah menjadi Khalifah, Mu’awiyah dengan kekuasaan dan uangnya telah melakukan teror kepada rakyat yang tidak bersedia memberikan bai’atnya kepada Yazid bin Mu’awiyah. Bahkan, di mimbar-mimbar khutbah pun Mu’awiyah menyerang ‘Ali, yang sudah tiada. Dalam menghadapi teror negara seperti ini, para sahabat angkat suara. ‘Abdullah bin ‘Umar dan Asma’ binti Abu Bakar dengan tegas mengecam tindakan Mu’awiyah. Bahkan, Abdullah bin Zubair putra Asma’ dengan Zubair bin ‘Awwam terpaksa meninggalkan Madinah, dan mukim di Makkah.
Pendek kata, ketika negara melakukan teror kepada rakyat, maka tindakan ini harus dikoreksi, diluruskan sehingga kembali sebagaimana mestinya. Partai politik, majelis umat, hingga rakyat bisa langsung melakukan upaya tersebut. Jika koreksi tersebut tidak berhasil, dan negara tetap melakukan “kezaliman”, maka tugas untuk menghilangkan kezaliman tersebut jatuh ke tangan Mahkamah Mazalim. Para penguasa yang terlibat dalam aksi teror tersebut harus diberhentikan.
Karena teror ini merupakan kesalahan oknum, bukan kesalahan hukum, tentu yang harus diberhentikan adalah oknumnya. Sebab, hukum Islam dengan tegas mengharamkan aksi teror, baik yang dilakukan individu, kelompok maupun negara. Di dalam negara Khilafah, yang menerapkan hukum Islam, jelas negara tidak akan ditolelir melakukan aksi teror. Karena aksi ini jelas menyimpang dari hukum Islam, dan penyimpangan seperti ini harus dihentikan.
Mengatasi Teror Negara Asing
Ini teror yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya. Bagaimana jika teror tersebut dilakukan oleh negara asing kepada rakyat negara Khilafah? Teror ini dilakukan bisa di wilayah-wilayah perbatasan, dan bisa juga tidak. Jika dilakukan di wilayah-wilayah perbatasan, maka negara Khilafah memobilisasi kewajiban melakukan ribath di seluruh perbatasan wilayah negara. Mereka adalah pasukan yang sewaktu-waktu siap tempur, dan syahid di jalan Allah. Mereka bukan pasukan biasa, tetapi juga para ulama’ yang luar biasa. Julukan mereka, farsan an-nahar wa ruhban al-lail [kesatria di siang hari, dan bak rahib di malam hari].
Selain itu, negara Khilafah juga bisa mengikat wilayah-wilayah yang belum tunduk kepadanya dengan perjanjian damai. Ini pernah dilakukan oleh Nabi, saat Perang Tabuk. Setelah pasukan Romawi meninggalkan Tabuk, Nabi dan pasukannya yang berjumlah 30,ooo personil itu tetap berada di Tabuk hingga 10 hari. Dalam rentang waktu itu, baginda saw. mengikat perjanjian dengan Yuhana bin Ru’bah, dari suku Ailah. Ini strategi yang dilakukan oleh Nabi. Strategi seperti ini bisa diduplikasi oleh negara Khilafah.
Tetapi, teror negara asing kadang dilakukan dengan menggunakan kelompok nasionalis dan sekular. Mereka terus-menerus menyebarkan paham Nasionalisme, sebagaimana yang dilakukan negara Eropa, saat hendak memisahkan wilayah Balkan dari Khilafah ‘Utsmaniyah. Terhadap mereka, berlaku hukum Ahli ar-Raib. Bahkan, jika mereka adalah Ahli Dzimmah, maka mereka bisa kehilangan dzimmah, dan diusir dari wilayah negara Khilafah.
Sebagaimana Ahli ar-Raib di atas, terhadap individu atau kelompok seperti ini, karena terbukti menjadi kepanjangan tangan kepentingan negara Kafir Harbi, aparat keamanan boleh memata-matai, termasuk melakukan penyadapan, sebelum dan setelah mereka ditumpas. Terhadap mereka, individunya bisa dikenai ta’zir hingga hukuman mati. Sedangkan organisasinya akan dibubarkan untuk selamanya. Pada saat yang sama, karena teror ini bertujuan politik untuk melepaskan wilayah dari negara, maka negara Khilafah, dengan dukungan partai politik, harus melakukan pendekatan politik, termasuk membongkar rancangan jahat mereka.
Sedangkan terhadap negara asing, Khilafah bisa mengumumkan perang untuk menghancurkan ketamakannya.