- Posted on
- 2 Comments
- 3265 Views
Beginilah Jadinya Ketika Kata “SUKKAR” Dimaknai “SULIT”
Kemarin (27/11/2016) Ma’had Syaraful Haramain serentak menyelenggarakan Ikhtibar Niha`iy (Ujian Akhir) untuk Mahasantri tingkat I’dad Lughawi (Penyiapan Bahasa Arab), setelah 4 bulan proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berlangsung.
Secara umum, Mahasantri menguasai teori-teori dan kaidah-kaidah bahasa Arab dasar yang telah diajarkan. Kesulitan mulai dirasakan saat praktek. Baik praktek baca kitab maupun praktek bercakap-cakap. Apalagi bercakap-cakapnya langsung dengan Native Speaker alias orang Arab Asli.
Begitu pula saat Ujian. Apalagi bahan yang diujikan adalah materi pelajaran yang sangat dasar, dan bisa dikatakan hampir semua Mahasantri saat berlangsung KBM dikelas terlihat mudah memahami. Bahkan sebagian sudah begitu menguasai dan hafal. Sebetulnya boleh dikata bahwa ini mudah. Bahkan sangatlah mudah. Namun karena sebelumnya hampir-hampir tidak pernah berjumpa dengan orang Arab asli untuk berkomunikasi, itu sebabnya saat pengujinya mengajak bercakap-cakap dengan bahan pembicaraan yang relatif familiar, tetap saja Mahasantri kerepotan. Mungkin juga ada faktor lain, seperti nervous, dll.
Seperti misalnya saat ditanya “Kam ‘Umruk?” (berapa umurmu?). Ada peserta ujian yang menjawab “Bogor”. Ada juga yang ditanya “Hal Anta Mutazawwij?” (Anda sudah menikah?), menjawab “Laa” (tidak). Tapi saat ditanya “Kam ladayka minal abnaa?” (berapa jumlah anakmu?) eh malah dia sebut jumlah anaknya. Kontan yang mengujinya tersenyum. Belum nikah tapi punya anak banyak.
Peserta ujian yang lainnya ditanya “Maa Jinsiyyatuk?” (Apa kewarganegaraanmu?), menjawab dengan yakin “Rijal” (laki-laki). Ada juga peserta lain ditanya dengan pertanyaan yang sama, menjawab dengan PD “Nisa” (perempuan). Mungkin disangka pertanyaannya adalah “apa jenis kelaminmu?”. Memang mirip bahasa Arabnya. Itu sebabnya penanya meluruskan bahwa yang ditanya bukan “Maa Jinsuk?” (apa jenis kelaminmu).
Ada juga yang ditanya “Kam gurfah bi baytik?” (ada berapa kamar di rumahmu?), menjawab dengan “Arba’at Kilumitr” (empat kilometer). Mungkin yang ditangkap pertanyaannya adalah “Berapa jarak rumahmu dari sini?”.
Peserta ujian lainnya ditanya tentang tahun kelahiran “Fiy ayyi sanatin wulidta?” (tahun berapa kamu lahir), menjawab dengan “Sidoarjo”. Mungkin yang dibayangkan adalah pertanyaan tentang tempat kelahiran.
Semua pertanyaan itu adalah pertanyaan standar. Semua Mahasantri yang ditanya, pasti bisa menjawabnya jika pertanyaan tersebut dalam bentuk tertulis. Sebagaimana pengakuan mereka sediri. “Seandainya pertanyaan itu dituliskan, kita bisa menjawab”, demikian terang salah satu Mahasantri saat pembahasan kunci jawaban selepas ujian. Dan mahasantri yang menyampaikan hal tersebut adalah Mahasantri yang fasih mengucapkan kata “Tajaawaz” yang berarti “Pass” alias “Lewat”. Memang semua peserta ujian kita bekali dengan kata “Tajaawaz” itu, jika ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Maka ia pun mengucapkan kata “Tajaawaz” itu dengan fasih hampir di setiap pertanyaan yang diajukan padanya.
Yang juga bikin kami tersenyum adalah ketika peserta kurang yakin dengan jawabannya lalu bertanya ke Native Speaker tersebut “Eh, betul ngga sih?”. Ya manalah mengerti orang Arab ditanya begitu.
Pada akhirnya, beberapa peserta ujian pun menggunakan bahasa isyarat jika ia sudah faham pertanyaan tapi tidak bisa menjawab dalam bahasa Arab. Seperti saat ditanya “Kayfa atayta ilaa hunaa?” (Bagaimana Anda datang kemari?). Tak ada kata dan tak ada suara. Tinggallah isyarat dipersaksikan. Memperagakan orang sedang mengendarai motor. Ada yang memperagakan gerakan sedang mengendarai mobil. Ada juga yang jadinya malah semacam tebak kata. Orang Arabnya yang disuruh menebak. Kata orang Arabnya “bil jawwaalah?” (dengan motor). Dijawab “Laa” oleh peserta itu. “bis sayyaarah?” (dengan mobil). Masih dijawab “Laa”. Ditebak lagi “bil haafilah?” (dengan bus?). Juga dijawab “Laa”. Kami pun memotivasi penguji dari Arab tersebut “Ayo, coba lagi!”…hehe. Hingga akhirnya ia pun menjawab dengan benar “bil qithaar?” (dengan Kereta?). Barulah dijawab “Ya” oleh peserta ujian. “Orang Arab mana ngerti kata YA” kata kami. “Oh, NA’AM” peserta ujian menimpali. Ada juga peserta ujian yang menjawab “bil angkot” (dengan angkot) saat ditanya dengan pertanyaan yang sama seperti ini.
Ujian lisan ini kami rangkai dengan ujian tertulis. Semua peserta mengerjakan ujian tertulis. Lalu, satu persatu kami panggil menghadap penguji Native Speaker di ruangan yang berbeda. Mungkin, saking sulitnya ujian ini dirasakan, sampai-sampai di kertas ujian tertulis, saat ada instruksi menerjemahkan kata-kata bahasa Arab, ada peserta yang jawabannya bernada CURHAT. Salah satunya, ada permintaan untuk menerjemahkan kata سُكَّرٌ (Sukkar). Ini sebetulnya relatif mudah diingat. Karena mirip dengan pelafalan bahasa Inggris “Sugar” artinya “GULA”. Tapi entah apa yang mengilhami peserta ujian tersebut sehingga ia menjawabnya dengan “SULIT”. Tapi begitulah kenyataan hidup. Kami tim penguji harus menyadari, bahwa peserta selalu punya cara untuk menyampaikan pesan dan masukan pada kami. Akhirnya kami sadar, bahwa soal-soal ujian yang kami buat ternyata memang “SUKKAR”, walau rasa aslinya adalah Manis.
Di sesi pembahasan kunci jawaban, ternyata semua peserta ujian merasa tercerahkan. Bahkan sang Native Speaker kami minta mengulangi lagi daftar pertanyaannya, dan semua peserta bisa memahami dengan baik. Itu artinya, peran pengulangan memanglah begitu besar. Setelah diulang, baru semakin faham.
Satu hari sebelum ujian, kami broadcast kepada seluruh peserta ujian “HIDUP ADALAH UJIAN. Kalau ingin semangat bahasa Arab terus HIDUP, maka ikutilah UJIAN yang ADALAH besok”. Yang jelas, dari ujian ini kami bisa mengevaluasi di titik mana kelemahan dan kekurangan yang harus kami perbaiki sebagai pengelola Ma’had. Alhamdulillah, hasil sementara (karena belum semua Mahasantri ikut ujian, sebab tak sedikit yang berhalangan hadir. Ada juga yang tidak datang karena takut…hehe) ada peserta yang nyaris mendapat nilai 90, padahal usianya baru 16 tahun. Aisyah namanya.
Anda ingin ikut merasakan dinamika belajar bahasa Arab yang mengasyikkan seperti ini? Yuk bergabung di mahadsyarafulharamain.com
Tapi perlu diingat, Ma’had Syaraful Haramain bukan Lembaga Kursus Bahasa Arab.
Wah…. Jadi kepingin Ikut belajar…..
Hari libur saja KBM nya ???
Iya Pak